Merokok di masyarakat kita sudah menjadi kebutuhan pokok. Bagaimana tidak, menurut survei yang pernah saya baca. Banyak orang memilih untuk tidak membeli beras dan memilih membeli rokok. Lebih gemesnya lagi, mayoritas perokok adalah orang miskin.
Miskin jangan merokok
Saya yang dari lahir sudah dididik orang tua agar jauh dari rokok semakin dewasa semakin menyadari bahwa bukan hanya berbahaya terhadap kesehatan. Lebih dari itu. Merokok ini merubah pola berfikir orang yang harusnya melakukan skala prioritas kebutuhan hidup. Para perokok ini, terutama perokok miskin, memiliki kecenderungan mengesampingkan kebutuhan pokok diri sendiri bahkan keluarga.
Dari sekolah dulu saya punya banyak teman-teman yang memiliki tingkat kecerdasan yang dibawah rata-rata. Dan hampir semuanya adalah orang yang dari segini ekonomi bawah. Dan bisa dipastikan bahwa di lingkungan keluarga inti, atau di satu rumah pasti ada yang merokok. Meskipun tidak semuanya, tapi saya yakin sebagian besarnya pasti ada yang merokok.
Kembali lagi ke persoalan : perokok lebih memilih beli rokok ketimbang beli beras. Jangankan beli beras, beli telur, daging ayam yang kaya akan protein, sayuran dan lauk-pauk bergizi lainnya saya mereka kesampingkan. Padahal, selain pola didikan yang baik, makanan yang sehat dan bergizi juga sangat menentukan pembentukan otak yang sehat sehingga tingkat kecerdasan pun meningkat. Saya yakin mereka pun tidak berpikir sesederhana ini. Ya ini menurut saya adalah pola pikir sederhana yang seharusnya orang tua pikirkan. Jika dari segi makanan saya tidak terpenuhi bagaimana bisa mereka pintar? Ya belajar yang baik dan mendapatkan didikan yang baik. Tapi apakah sesederhana itu? Tidak juga. Karena yang saya lihat, banyak dari mereka yang tidak mendapatkan didikan yang baik. Salah satunya adalah mendapatkan contoh merokok dari orang terdekat mereka, bisa ayah, ibu, atau kakek-neneknya.
Hasilnya apa? Bisa ditebak, anaknya menjadi perokok handal. Bahkan sekarang ini, setingkat sekolah dasar saja sudah berani merokok. Gila. Sedikit disclaimer ya, saya menulis ini berdasarkan pengalaman sehari-hari yang memang sangat dekat dengan masyarakat kelas ini.
Kembali lagi, anak dari keluarga miskin, merokok, ketagihan. Ya, ketagihan. Jangan lupa, rokok mengandung nikotin, zat yang memiliki efek adiktif. Efek ini saya pikir sangat berbahaya. Orang kalau sudah kecanduan sesuatu yang negatif itu bisa sangat berbahaya untuk jangka panjang.
Anak yang merokok tersebut lantas kecanduan, kemudian tidak punya uang lagi untuk membeli rokok karena dia miskin. Apa yang dilakukan? Ya melakukan kenakalan remaja. Menguntit, mencuri. Mungkin awalnya berbohong meminta uang dari orang tuanya untuk membeli sesuatu padahal untuk membeli rokok. Kemudian kecanduan lagi, akhirnya mencuri uang orang tuanya, hingga yang lebih parahnya bisa langsung mencuri rokok dari toko. Ini sudah sering sekali saya dengan kejadian disekitar saya.
Masalah kesehatan
Masalah kesehatan yang berkaitan dengan rokok itu sudah menjadi hal yang sangat klasik. Tidak akan pernah habis dibicarakan di debat kusir antara perokok aktif dan pasif, di iklan rokok, himbauan dibanyak tempat, hingga di buku pelajaran sekolah. Hingga saya pun sebenarnya sudah bosan sekali membicarakan ini. Tapi bagaimana jika bicara dengan sudut lain.
Saya pernah baca berita jika memang perokok tetap ditanggung BPJS selama ada indikasi medis, namun ada usulan terbaru yang mengatakan bahwa penyakit akibat rokok tidak akan ditanggung BPJS mulai 2025. alasannya adalah karena pembengkakan anggaran alias mengurangi beban anggaran, meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan dan agar mengurangi konsumsi rokok. Jika kita berkaca bahwa mayoritas perokok adalah yang berasal dari tingkat ekonomi bawah maka tidak heran alasan seperti ini sangat masuk akal. Sangat masuk akal lagi jika ada alasan : karena perokok pasif tidak memiliki kontrol atas paparan asap rokok yang kaya akan racun dari perokok. Mungkin kita sudah berusaha menghindari asapnya, tapi bagaimana pun di banyak tempat walaupun sedikit pasti terpapar. Ibarat kita sudah hari-hari berkendara, eh tahu-tahu ada ibu-ibu sen kanan beloknya ke kiri, lalu nabrak kita. Susah sekali dihindari. Perokok ini alih-alih sadar, malah mereka menyuruh perokok pasif yang menghindar. Fuck.
Minim etika, egois, sulit menjaga kebersihan, dan masalah mental lainnya.
Banyak dari kita yang walaupun sekali pasti pernah bersinggungan, berpapasan atau bertemu perokok dijalan, entah kita di depan atau di belakang mereka. Ya, mereka merokok sambil berkendara. Naik mobil, naik motor, atau naik kendaraan umum. Banyak, kan? Dan apa yang mereka lakukan? Santai saja seolah tidak sadar atas apa yang mereka lakukan.
Bayangkan seorang remaja merokok sambil naik motor, di belakangnya persis ada ibu-ibu tua. Dia merokok didepan ibu-ibu, membuang asap dan abunya begitu saja. Dampaknya apa? Sudah sangat banyak sekali kejadian dijalan yang sering saya temui orang yang padahal sudah pakai helm masih saja terkena abu rokok. Sangat perih dan berbahaya. Bukan hanya satu-dua kejadian, tapi banyak.
Terlebih ketika sudah habis, puntung rokoknya langsung dibuang begitu saja dijalan. Pernah saya jumpai di depan saya rokok yang langsung membuang puntung rokoknya dan hampir mengenai saya yang saat itu saya ada di sampingnya mau menyalip karena merasa terganggu dengan paparan asap dan abunya. Sialan. Rasanya ingin mengumpat.
Jangankan dijalan. Ketika sedang merokok dimanapun, sangat sedikit dari mereka yang bisa menjaga kebersihannya. Asap dibuang sembarangan, abu berserakan dimana-mana, dan putung rokok dilempar begitu saja. Sekali lagi, ini bukan kejadian satu-dua yang saya tahu, tapi banyak.
Racun dari rokok ini sangat berbahaya. Terlebih jika terkena bayi dan anak-anak. Racun rokok bisa menempel dibaju dan di perabotan lainnya. Bayangkan jika perokok punya anak bayi. Pulang kerja (yang pastinya habis merokok) belum ganti baju langsung memeluk anak dan istrinya. Terjadilah pertukaran racun hingga ke anaknya. Racun ini sangat berbahaya dampaknya. Hal ini pun bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan, terlebih pada bayi. Jika hal itu terjadi, siapa yang rugi? Semuanya rugi, rugi waktu, tenaga dan uang. Dan saya sangat yakin banyak dari mereka yang tidak berpikir jauh sampai kesini.
Dari beberapa contoh kejadian tidak mengenakkan, bisa sedikit kita mengambil kesimpulan sederhana bahwa perokok ini (kebanyakan) adalah orang yang minim etika, mementingkan kepuasan diri sendiri, mereka tidak peduli orang di sekitarnya yang sudah pasti dirugikan, hingga orang-orang ini tidak bisa menjaga kebersihan diri sendiri dan sekitarnya.
Halal, haram.
Berbicara halal dan haram, memang hal ini sudah sering menjadi perdebatan yang berujung menggantung. Ada yang menghalalkan, ada yang mengharamkan. Sebenarnya banyak hal yang bisa menentukan apakah ini haram atau halal, Namun, dengan memakai logika sederhana saja seharusnya sudah bisa menilai apakah ini haram atau tidak. Misalnya, jika hal itu banyak mudhorotnya, maka hal itu haram. Sesederhana itu seharusnya. Maka, kita bisa menilai apakah rokok itu halal atau haram. Atau ada yang cari aman pada pilihan ketiga, makruh. Silakan nilai sendiri ya.
Alasan klise.
Perokok jika diajak debat biasanya gemar beradu alasan yang seharusnya sudah bisa dijawab dengan data. Mereka punya salah satu alasan yang kerap kali dilontarkan sebagai andalan : rokok adalah penyumbang terbesar pajak Indonesia.
Yap benar sekali. Tapi udah 2025 lho ini. Tidak ada alasan lain? Apa alasan-alasan tadi kurang cukup masuk akal? Mereka selalu berdalih dan selalu berpikir ini adalah alasan yang kuat padahal alasan soal kesehatan diri sendiri dan orang lain, ego, etika, dan kebersihan diri sendiri dan lingkungan lebih masuk akal ketimbang memikirkan pajak Indonesia.
Dan ada satu lagi yang bikin saya cukup geram. Mereka selalu bilang : kenapa gak tutup pabriknya saja? Bisa dibayangkan kualitas orang yang berpikir demikian, kan? Ironisnya, bapak saya yang tidak merokok pun pernah bilang demikian. Tidak semudah itu menutup pabrik rokok punya ribuan karyawan. Dampak lain adalah perusahaan harus menyiapkan kompensasi yang cukup besar hingga pemerintah harus menyiapkan transisi ekonomi bagi para pekerja yang terdampak. Salah satunya menyiapkan program pelatihan dan menyiapkan dan menciptakan lapangan kerja alternatif. Akibatnya nambah lagi anggaran-anggaran yang terbuang.
Menurut saya, hal ini bisa dilakukan bilamana semua pihak yang sekiranya terlibat harus saling mendukung dan sudah menyiapkan solusi dengan matang, tidak lantas dengan waktu singkat menutup pabrik begitu saja. Mustahil.
Oleh karena itu, perubahan besar bisa terwujud dengan dimulai dari perubahan yang kecil. Mulailah bertanggung jawab dengan diri sendiri. Pelan tapi pasti, bulatkan tekat dan niat yang kuat untuk berhenti.
Bertanggung-jawab
Merokok adalah perilaku yang harus didasari sikap tanggung jawab penuh atas risiko dan dampaknya. Merokok juga butuh kesadaran atas konsekuensi tindakan yang dilakukan. Oleh karenanya, saya berani katakan, akan sangat sulit meniadakan rokok apalagi sampai membunuh pabrik-pabriknya. Ingat hey, rokok adalah salah satu penyumbang terbesar pajak indonesia. Sampai-sampai kalimat ini menjadi andalan para perokok untuk ngeles dan menjadi alasan yang itu-itu saja. Udah 2025 hey, ganti dong alasannya. Nah oleh karena itu, seorang perokok haruslah orang yang bertanggung-jawab. Bertanggung jawab atas asapnya, abunya, sampah puntung rokoknya. Bertanggung jawab dengan orang di sekitarnya untuk tidak mengambil hak mereka. Bertanggung jawab terhadap lingkungan untuk menciptakan udara yang bersih dan tanah-tanah bebas dari zat racun berbahaya dari rokok dan bertanggung jawab atas risiko ekonomi setiap individu. Kesimpulannya, merokok memang pilihan masing-masing tetapi memang harus didasari rasa tanggung jawab yang besar. Saya sebenarnya tidak melarang merokok, asal pada tempatnya dan saling menghargai orang yang tidak merokok. Karena ada hak-hak orang yang harus kita hormati.